Artikel
Penetrasi Internet Banyak Bergantung ISP Illegal
Kamis, 1 Desember 2005, 15:57:00 WIB
Kategori: Mikrotik @ Media
BEBERAPA tahun belakangan pertumbuhan internet di Yogyakarta memang selalu semarak.
Antara tahun 1999 sampai 2002 pertumbuhan warung internet atau warnet sangat pesat.
Hampir di setiap sudut kota, kita bisa menjumpai usaha warnet ini. Saat ini jumlah
warnet yang hidup di Yogyakarta diperkirakan sekitar 130 buah.
Maraknya perkembangan warnet ini tentu saja berdampak positif bagi penyebaran
internet dan mengikis kesenjangan teknologi informasi (digital devide). Masyarakat
dapat mengakses internet dan mendapatkan informasi di internet dengan mudah. Perkembangan
internet yang pesat ini juga didorong oleh fakta kota Yogyakarta sebagai kota
pelajar. Banyak pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan fasilitas akses internet
melalui warnet ini karena sambungan telepon kabel masih sangat kurang, apalagi
kalau harus menjangkau kamar-kamar kos pada mahasiswa dan pelajar.
Perkembangan dunia internet ternyata tidak berhenti di sana. Beberapa warnet yang
merasa membutuhkan koneksi internet lebih baik berinisiatif mengembangkan diri
dan memberikan layanan jasa akses internet, yang dalam kesehariannya sering disebut
sebagai penyedia jasa internet/internet service provider (ISP). Sampai pertengahan
tahun 2004 ini, tercatat di Yogyakarta ada sekitar 25 ISP, sementara dari data
yang dimiliki Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), di Yogyakarta
beroperasi 13 ISP yang telah memiliki izin dari pemerintah (Direktorat Jenderal
Pos dan Telekomunikasi/ Ditjen Postel).
Perizinan ISP yang dikeluarkan oleh Ditjen Postel memang cukup berlapis. Setelah
memiliki izin usaha berupa PT, ISP harus mengurus izin prinsip yang berlaku selama
satu tahun. Untuk menjamin kemampuan ISP memberikan layanan yang baik kepada masyarakat,
Postel akan melakukan uji laik operasi (ULO) dan, jika lulus, ISP akan mendapatkan
izin penyelenggaraan. Mulai tahun 2004, Postel juga memberlakukan kontrak pengembangan
yang diwujudkan dalam modern licencing. Pada proses pengurusan izin di atas, semua
perangkat yang digunakan harus disertifikasi terlebih dahulu.
DALAM pelaksanaannya, ISP diwajibkan untuk membayar BHP Penyelenggaraan Telekomunikasi
sebesar satu persen dari pendapatan operasional. Jika menggunakan wireless LAN
2,4 GHz, ISP harus mengurus izin frekuensi untuk mendapatkan izin stasiun radio
dan akan dikenai BHP Frekuensi. ISP yang menggunakan koneksi via satelit harus
juga memiliki landing rights yang didapat dari Network Access Provider (NAP).
Berlapisnya proses perizinan telekomunikasi bagi ISP sering kali membuat ISP ciut
nyalinya untuk melakukan pengurusan. Sebagian belum berani mulai mengurus karena
takut akan ada biaya siluman dalam kepengurusan yang jumlahnya besar, meskipun
pihak Postel sendiri setiap melakukan sosialisasi selalu mengatakan bahwa biaya
pengurusan izin adalah nol rupiah.
Ketidakberesan izin yang dimiliki ISP di daerah menjadi terbukti saat dilakukan
penertiban, seperti yang dilakukan oleh Kantor Balai Monitor Frekuensi Radio dan
Orbit Satelit Kelas II Yogyakarta pada tanggal 15 dan 16 September 2004 lalu.
Sebanyak 10 ISP dinyatakan tidak beres izinnya, dan perangkat mereka disita dan
disegel, sehingga tidak dapat beroperasi. Penyegelan berdampak langsung terhadap
tutupnya lebih dari 70 warnet dan putusnya koneksi internet pada 41 kantor instansi
pemerintah dan sekolah, 5 perusahaan swasta, serta 23 pelanggan personal. Artinya,
penertiban yang telah dilakukan ini melumpuhkan sekitar 50 persen internet di
Yogyakarta.
Secara logis, semua orang pasti setuju bahwa industri apa pun yang tumbuh di Indonesia
haruslah berada pada koridor hukum dan peraturan yang benar. Namun, melihat banyaknya
jumlah ISP yang perizinannya belum lengkap (sebagian malah belum memiliki izin
sama sekali) dan cukup besarnya jumlah pelanggan yang dilayani, harus disadari
bahwa ISP ilegal ini ternyata memegang peranan yang cukup signifikan pada proses
penyebaran internet di daerah-daerah. Di saat ISP-ISP besar berkonsentrasi pada
pengembangan usaha di Jakarta, daerah bisa dibilang menjadi anak tiri. ISP yang
melakukan operasi secara nasional dan melakukan penetrasi ke daerah-daerah jumlahnya
tidak lebih dari jumlah jari tangan kita.
SEMAKIN majunya teknologi perangkat, untuk menjadi sebuah ISP dengan kapasitas
2 mbps, tidak lagi harus menggunakan perangkat yang mahal dan bermerek. Komputer
personal yang dilengkapi beberapa kartu jaringan (network card) sudah dapat difungsikan
menjadi router dan pengatur kecepatan koneksi pelanggan (bandwidth management).
Atau kalau mau lebih mudah, dengan perangkat lunak Mikrotik (http://www.mikrotik.com)
seharga 45 dollar AS, kita sudah bisa mendapatkan aplikasi router yang cukup lengkap.
Untuk menyalurkan bandwidth ke pelanggan, tidak lagi dibutuhkan perangkat jaringan
yang mahal. Cukup dengan sepasang perangkat wireless internet 2,4 GHz seharga
kurang dari Rp 1 juta per buah dan bisa dibeli dengan mudah di toko-toko komputer
di Mangga Dua. Untuk total investasi awal perangkat sebuah ISP kecil saat ini
hanya diperlukan biaya tidak lebih dari Rp 50 juta.
Menurut aturan, seluruh perangkat jaringan yang digunakan harus disertifikasi.
Masalah sertifikasi adalah masalah yang cukup mengganjal dengan penyelenggaraan
ISP murah ini. Misalnya untuk perangkat router dengan menggunakan PC, hampir tidak
mungkin dilakukan sertifikasi, mengingat spesifikasi router bisa di-upgrade sewaktu-waktu
jika dibutuhkan, dan juga konfigurasi antara satu PC router dengan lainnya bisa
berbeda.
Demikian juga dengan perangkat wireless, seiring dengan perkembangan teknologi,
hampir tiap tiga bulan setiap merek perangkat mengeluarkan jenis yang baru, padahal
setiap kali keluar jenis baru, perangkat tersebut harus disertifikasi lagi. Merek
yang tersedia di pasaran pun beragam, dan sebagian dari merek-merek tersebut tidak
ada yang telah disertifikasi. Sertifikasi ini seharusnya dilakukan oleh produsen,
dan bukan oleh toko penjual, ataupun ISP sebagai pemakai. Seharusnya, perangkat
yang telah sesuai dengan standar baku internasional secara otomatis juga diakui
oleh pemerintah dan tidak perlu lagi disertifikasi.
Aturan yang mengatur tata cara perizinan ISP di Indonesia saat dibuat memang diarahkan
untuk mengatur perusahaan besar. Saat itu belum terpikir bahwa dengan modal kecil
bisa membuat ISP. Pemerintah (dalam hal ini Ditjen Postel) perlu lebih bijaksana
menyikapi hal ini. Fungsi pemerintah sebagai pembina perlu lebih dikedepankan
daripada fungsi sebagai regulator dan penertib. Postel perlu membuat langkah-langkah
operasional yang nyata untuk merangkul ISP-ISP kecil yang sebagian masih takut
untuk memulai proses perizinan.
Sandungan-sandungan seperti soal sertifikasi yang perlu ditinjau ulang, karena
perkembangan industri perangkat telekomunikasi memang sangat pesat dan dinamis,
sehingga syarat-syarat sertifikasi baku yang ada menjadi sangat menghambat. Jangan
sampai Postel hanya berpegang pada prosedur perizinan baku dan mengesampingkan
fakta bahwa berbagai ISP kecil inilah yang menjadi ujung tombak penyebaran internet
ke daerah-daerah.
Sudah saatnya ISP-ISP kecil ini didukung untuk bisa hidup dengan layak, sebagaimana
juga masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah juga layak dan harus dapat mendapatkan
akses internet yang mudah dan murah.
Valens Riyadi
Pelaku Industri Penyedia Jasa Internet dan Menjabat sebagai Korwil I APJII Wilayah
Yogyakarta
Kembali ke :
Halaman Artikel | Kategori Mikrotik @ Media